Jika dikaji secara mendalam, dinamika peradaban Islam berjalan selaras dengan perluasan dan pengayaan fungsi masjid bagi komunitas Muslim. Dalam perjalanan sejarah Islam, masjid bukan sekadar tempat untuk menunaikan ibadah shalat (terutama shalat berjamaah), namun juga berperan lebih fenomenal dan krusial dalam menunjang kehidupan masyarakat. Islam mengajarkan pendirian masjid harus memberikan manfaat luas, terdalam dan lengkap mengingat seluruh permukaan bumi adalah masjid.
Kata masjid berakar dari bahasa Aram (tergolong dalam rumpun bahasa Afro-Asia), yakni bahasa Semitik yang menjadi bahasa asli sebagian besar kitab Daniel dan Ezra dan merupakan bahasa utama Talmud –bahasa ibu dari Nabi Isa AS. Kata masgid ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke-5 sebelum Masehi yang berarti tiang suci atau tempat sembahan. Dalam bahasa Arab, masjid berarti tempat sujud atau tempat ibadah.
Sujud berasal dari kata kerja bahasa Arab, yakni sajada adalah sujud atau tunduk yang berarti meletakkan kening di atas permukaan bumi untuk beribadah kepada Allah SWT. Karena bumi ini ciptaan Al-Qahhaar (Yang Memiliki Mutlak Sifat Memaksa) –sehingga seluruh permukaannya juga milik Al-Wahhaab (Yang Memiliki Mutlak Sifat Pemberi Karunia)– maka secara harafiah ibadah shalat dapat dilakukan di mana saja.
Peradaban Islam selalu mencontohkan bahwa pendirian dan pemanfaatan masjid harus lebih dikembangkan dan lebih diperluas bagi kehidupan kaum Muslim. Sebab jika hanya dipakai sebagai tempat shalat, umat Islam dapat melakukannya di luar masjid, yakni di seluruh tempat di atas permukaan bumi. Hal ini seperti yang dikutip dari Jabir bin ’Abdullah, bahwasanya Nabi SAW pernah bersabda: “Aku dikarunia lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorangpun sebelum aku;
Fungsi Masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan para khalifah terus berlanjut. Bahkan pada saat itu, fungsi Masjid Nabi semakin diperluas sebagai pusat pertemuan para sahabat dan pemimpin Muslim lainnya. Karena menjadi pusat dakwah bagi kaum mualaf –dalam rangka menerima pelajaran dasar tentang Islam– akibatnya fungsi masjid sebagai pusat pendidikan Islam menjadi semakin mengkristal. Dari sanalah penguatan fungsi masjid sebagai sentra pelayanan pendidikan dan penyebaran keilmuan yang bernuansa Islam telah mulai tumbuh. Dan mulai dari fase itu, fungsi masjid sebagai sentral pengembangan peradaban Islam mulai berkembang.
Masjid kemudian dibangun di luar Semenanjung Arab, seiring dengan kaum Muslim yang bermukim di luar Jazirah Arab. Mesir menjadi daerah pertama yang dikuasai oleh kaum Muslim Arab pada tahun 640. Sejak saat itu, Ibukota Mesir, Kairo dipenuhi dengan masjid, sehingga dijuluki sebagai kota seribu menara. Dan beberapa masjid di Kairo juga mengikuti keteladanan Masjid Nabi karena berfungsi sebagai sekolah Islam atau madrasah bahkan rumah sakit.
Banyak pemimpin Muslim setelah wafatnya Muhammad SAW berlomba-lomba untuk membangun masjid. Seperti di kota Mekkah dan Madinah dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, masjid di kota Karbala juga dibangun di dekat makam Imam Husein. Di kota Isfahan, Iran juga dikenal dengan Masjid Imam-nya yang menjadi pusat kegiatan masyarakat muslim di sana.
Pada akhir abad ke-17, Syah Abbas I dari Dinasti Safawi di Iran merubah kota Isfahan menjadi salah satu kota terbagus di dunia dengan membangun Masjid Syah dan Masjid Syaikh Lutfallah di pusat kota. Ini menjadikan kota Isfahan memiliki lapangan pusat kota terbesar di dunia. Lapangan ini berfungsi sebagai pasar bahkan tempat olahraga.
Dalam perkembangan sejarah Islam, eksistensi masjid menjadi sangat komprehensif karena selain sebagai sarana ibadah juga menjadi lanskap yang sangat berarti bagi kehidupan kaum Muslimin –yang tentunya selaras dengan fungsi-fungsi masjid itu sendiri. Dengan semangat ke-Islaman yang menggelora, masjid didirikan sebagai titik (pusat) awal kegiatan utama kegiatan (kehidupan) kaum Muslimin. Bermula dengan mendirikan masjid, kemudian dikembangkan ke arah kegiatan-kegiatan lainnya yang menjadi sumber kegiatan sosial-keagamaan, pendidikan, politik, kesehatan dan lain sebagainya.
Misalnya seperti penataan masjid jami. Konsep masjid raya ini dirancang sebagai pusat ibadah, sosial dan keagamaan yang ditempatkan pada inti (pusat) kegiatan. Pengembangan kegiatan berikutnya biasanya berupa kegiatan pendidikan, kesehatan dan olahraga.
Pada lingkungan kegiatan berikutnya, masjid dikembangkan sebagai pusat pasar amal (bazar) dan menjadi tempat penjualan produk dan jasa yang terkait dengan pendidikan, ibadah dan keagamaan. Pada aspek kegiatan inilah, masjid difungsikan sebagai tempat untuk mengumpulkan dana, baik dengan menggelar pasar amal atau menyewakan ruang-ruang yang dimilikinya untuk tempat akad nikah, resepsi perkawinan dan sebagainya. Masjid Tanah Liat di Djenne’, Mali secara rutin mengadakan festival tahunan dalam rangka mengumpulkan dana untuk merehabilitasi bangunannya.
Selanjutnya pada konsep rancang bangun masjid raya, area untuk melakukan transaksi bisnis dan perdagangan dalam skala besar (dan lebih rutin) ditempatkan pada kegiatan yang paling luar. Pada lingkaran ini, pendirian pusat bisnis (disebut pasar atau suq) meliputi pertokoan, perbankan, perkantoran, gudang dan sebagainya.
Kemudian pada kegiatan yang terakhir, fungsi masjid direkatkan dengan pemukiman penduduk beserta fasilitas umum (fasum) lainnya yang diperlukan. Jika pemukiman penduduk berjarak cukup jauh dengan dengan masjid raya, biasanya didirikan pula fasilitas sosial (fasos) tambahan dalam ukuran lebih kecil, seperti musala atau langgar dan lain sebagainya.
Penyatuan rancang bangun lanskap masjid yang terbagi ke dalam beberapa fungsi kegiatan tersebut sesungguhnya bersumber dari tawhidic paradigm. Paradigma Tauhid mengartikan adanya kesatuan kehidupan yang berpusat pada masjid. Masjid sebagai simbol keimanan dan ke-Islaman menjadi pusat kegiatan ibadah yang selanjutnya menyebar ke aspek-aspek kegiatan berikutnya yang juga teramat penting dalam mendukung kehidupan masyarakat Muslim.
Paradigma Tauhid memosisikan agama sebagai inti kehidupan dan tidak ada pemisahan antara hal-hal yang bersifat sakral maupun profan. Antara kegiatan yang memberi makna bagi kepentingan duniawi maupun akhirat dapat dilakukan secara terintegrasi dan terkait dengan dimensi keagamaan dan bahkan dapat dikemas sebagai pancaran (eksistensi) keimanan dan ibadah.
Belajar dari sejarah Islam, seharusnya eksistensi masjid pada masa kini harus lebih mampu memberi makna terdalam, terluas dan terlengkap bagi kehidupan masyarakat Muslim. Karena itu, pengembangan dan pengayaan ulang atau revitalisasi fungsi masjid sebagai pusat berbagai kegiatan sosial-keagamaan, pendidikan, politik, kesehatan dan sebagainya kini menjadi lebih diperlukan. Tujuannya untuk menciptakan manfaat dan dampak masjid yang maksimal serta berkesinambungan dalam mengembangkan peradaban dunia Islam yang maju, ramah, mandiri, damai dan modern. FitriWeningtyas&GitaIndrawanti
Kata masjid berakar dari bahasa Aram (tergolong dalam rumpun bahasa Afro-Asia), yakni bahasa Semitik yang menjadi bahasa asli sebagian besar kitab Daniel dan Ezra dan merupakan bahasa utama Talmud –bahasa ibu dari Nabi Isa AS. Kata masgid ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke-5 sebelum Masehi yang berarti tiang suci atau tempat sembahan. Dalam bahasa Arab, masjid berarti tempat sujud atau tempat ibadah.
Sujud berasal dari kata kerja bahasa Arab, yakni sajada adalah sujud atau tunduk yang berarti meletakkan kening di atas permukaan bumi untuk beribadah kepada Allah SWT. Karena bumi ini ciptaan Al-Qahhaar (Yang Memiliki Mutlak Sifat Memaksa) –sehingga seluruh permukaannya juga milik Al-Wahhaab (Yang Memiliki Mutlak Sifat Pemberi Karunia)– maka secara harafiah ibadah shalat dapat dilakukan di mana saja.
Peradaban Islam selalu mencontohkan bahwa pendirian dan pemanfaatan masjid harus lebih dikembangkan dan lebih diperluas bagi kehidupan kaum Muslim. Sebab jika hanya dipakai sebagai tempat shalat, umat Islam dapat melakukannya di luar masjid, yakni di seluruh tempat di atas permukaan bumi. Hal ini seperti yang dikutip dari Jabir bin ’Abdullah, bahwasanya Nabi SAW pernah bersabda: “Aku dikarunia lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorangpun sebelum aku;
- aku ditolong dengan kegentaran (musuh menghadapi aku) jarak sejauh sebulan perjalanan;
- dan dijadikan bumi ini bagi ku sebagai masjid dan bahan pensuci, lalu di mana saja seseorang dari umatku mendapatkan waktu shalat, ia boleh melakukan shalat di situ;
- dan dihalalkan bagiku rampasan perang, padahal tidak dihalalkan bagi seseorang sebelum aku;
- juga aku diizinkan memberi syafa’ah (pada hari Kiamat);
- dan adapun nabi-nabi (terdahulu) diutus hanya untuk kaumnya semata-mata, sedang aku diutus untuk manusia seluruhnya.” (HR Bukhary dan Muslim).
Fungsi Masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan para khalifah terus berlanjut. Bahkan pada saat itu, fungsi Masjid Nabi semakin diperluas sebagai pusat pertemuan para sahabat dan pemimpin Muslim lainnya. Karena menjadi pusat dakwah bagi kaum mualaf –dalam rangka menerima pelajaran dasar tentang Islam– akibatnya fungsi masjid sebagai pusat pendidikan Islam menjadi semakin mengkristal. Dari sanalah penguatan fungsi masjid sebagai sentra pelayanan pendidikan dan penyebaran keilmuan yang bernuansa Islam telah mulai tumbuh. Dan mulai dari fase itu, fungsi masjid sebagai sentral pengembangan peradaban Islam mulai berkembang.
Masjid kemudian dibangun di luar Semenanjung Arab, seiring dengan kaum Muslim yang bermukim di luar Jazirah Arab. Mesir menjadi daerah pertama yang dikuasai oleh kaum Muslim Arab pada tahun 640. Sejak saat itu, Ibukota Mesir, Kairo dipenuhi dengan masjid, sehingga dijuluki sebagai kota seribu menara. Dan beberapa masjid di Kairo juga mengikuti keteladanan Masjid Nabi karena berfungsi sebagai sekolah Islam atau madrasah bahkan rumah sakit.
Banyak pemimpin Muslim setelah wafatnya Muhammad SAW berlomba-lomba untuk membangun masjid. Seperti di kota Mekkah dan Madinah dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, masjid di kota Karbala juga dibangun di dekat makam Imam Husein. Di kota Isfahan, Iran juga dikenal dengan Masjid Imam-nya yang menjadi pusat kegiatan masyarakat muslim di sana.
Pada akhir abad ke-17, Syah Abbas I dari Dinasti Safawi di Iran merubah kota Isfahan menjadi salah satu kota terbagus di dunia dengan membangun Masjid Syah dan Masjid Syaikh Lutfallah di pusat kota. Ini menjadikan kota Isfahan memiliki lapangan pusat kota terbesar di dunia. Lapangan ini berfungsi sebagai pasar bahkan tempat olahraga.
Dalam perkembangan sejarah Islam, eksistensi masjid menjadi sangat komprehensif karena selain sebagai sarana ibadah juga menjadi lanskap yang sangat berarti bagi kehidupan kaum Muslimin –yang tentunya selaras dengan fungsi-fungsi masjid itu sendiri. Dengan semangat ke-Islaman yang menggelora, masjid didirikan sebagai titik (pusat) awal kegiatan utama kegiatan (kehidupan) kaum Muslimin. Bermula dengan mendirikan masjid, kemudian dikembangkan ke arah kegiatan-kegiatan lainnya yang menjadi sumber kegiatan sosial-keagamaan, pendidikan, politik, kesehatan dan lain sebagainya.
Misalnya seperti penataan masjid jami. Konsep masjid raya ini dirancang sebagai pusat ibadah, sosial dan keagamaan yang ditempatkan pada inti (pusat) kegiatan. Pengembangan kegiatan berikutnya biasanya berupa kegiatan pendidikan, kesehatan dan olahraga.
Pada lingkungan kegiatan berikutnya, masjid dikembangkan sebagai pusat pasar amal (bazar) dan menjadi tempat penjualan produk dan jasa yang terkait dengan pendidikan, ibadah dan keagamaan. Pada aspek kegiatan inilah, masjid difungsikan sebagai tempat untuk mengumpulkan dana, baik dengan menggelar pasar amal atau menyewakan ruang-ruang yang dimilikinya untuk tempat akad nikah, resepsi perkawinan dan sebagainya. Masjid Tanah Liat di Djenne’, Mali secara rutin mengadakan festival tahunan dalam rangka mengumpulkan dana untuk merehabilitasi bangunannya.
Selanjutnya pada konsep rancang bangun masjid raya, area untuk melakukan transaksi bisnis dan perdagangan dalam skala besar (dan lebih rutin) ditempatkan pada kegiatan yang paling luar. Pada lingkaran ini, pendirian pusat bisnis (disebut pasar atau suq) meliputi pertokoan, perbankan, perkantoran, gudang dan sebagainya.
Kemudian pada kegiatan yang terakhir, fungsi masjid direkatkan dengan pemukiman penduduk beserta fasilitas umum (fasum) lainnya yang diperlukan. Jika pemukiman penduduk berjarak cukup jauh dengan dengan masjid raya, biasanya didirikan pula fasilitas sosial (fasos) tambahan dalam ukuran lebih kecil, seperti musala atau langgar dan lain sebagainya.
Penyatuan rancang bangun lanskap masjid yang terbagi ke dalam beberapa fungsi kegiatan tersebut sesungguhnya bersumber dari tawhidic paradigm. Paradigma Tauhid mengartikan adanya kesatuan kehidupan yang berpusat pada masjid. Masjid sebagai simbol keimanan dan ke-Islaman menjadi pusat kegiatan ibadah yang selanjutnya menyebar ke aspek-aspek kegiatan berikutnya yang juga teramat penting dalam mendukung kehidupan masyarakat Muslim.
Paradigma Tauhid memosisikan agama sebagai inti kehidupan dan tidak ada pemisahan antara hal-hal yang bersifat sakral maupun profan. Antara kegiatan yang memberi makna bagi kepentingan duniawi maupun akhirat dapat dilakukan secara terintegrasi dan terkait dengan dimensi keagamaan dan bahkan dapat dikemas sebagai pancaran (eksistensi) keimanan dan ibadah.
Belajar dari sejarah Islam, seharusnya eksistensi masjid pada masa kini harus lebih mampu memberi makna terdalam, terluas dan terlengkap bagi kehidupan masyarakat Muslim. Karena itu, pengembangan dan pengayaan ulang atau revitalisasi fungsi masjid sebagai pusat berbagai kegiatan sosial-keagamaan, pendidikan, politik, kesehatan dan sebagainya kini menjadi lebih diperlukan. Tujuannya untuk menciptakan manfaat dan dampak masjid yang maksimal serta berkesinambungan dalam mengembangkan peradaban dunia Islam yang maju, ramah, mandiri, damai dan modern. FitriWeningtyas&GitaIndrawanti
Cetak